16/05/15

Silicon Valley - The Pied Piper Website




Tampaknya Mike Judge, sang kreator serial TV Silicon Valley, ingin membuat Pied Piper terlihat nyata dengan membuat website-nya. Dengan tampilannya oke, dengan profil perusahaan, pendiri dan blog, website Pied Piper cukup meyakinkan meski tanpa aplikasi untuk didownload. Dari tanggal di url blog dan komentar pengunjung, sepertinya website ini baru di buat sekitar bulan April tahun ini dan dikelola oleh Jared Dunn, Kepala Pengembangan Bisnis Pied Piper. Dunn juga yang berperan aktif menulis blog yang berisi seputar aktifitas organisasi yang hampir semuanya diadaptasi dari serial tv. Meski begitu, ada artikel yang menurut saya keren, yaitu Workplace Harassement Policy (Kebijakan Anti-Pelecehan di Kantor). Sebagaimana kita tahu, para pegawai Pied Piper sering mengeluarkan kata-kata rasis, porno dan kotor, maka dengan lahirnya kebijakan ini saya rasa Jared Dunn sudah membuat terobosan baru dalam membentuk budaya perusahaan.


Our Workplace Harassment Policy

– by Jared Dunn

Time to get real here, people.

We’ve had a lot of fun on this blog. No one more than I. You have no idea how I look forward to settling down with the ol’ laptop, a nice pear cider and banging out a post for you good folks to read. But now, I want to start a dialogue about something of great importance, particularly here in the Valley where our track record has been decidedly mixed: I’m talking about Pied Piper’s workplace harassment policy.

Pied Piper has instituted a zero-tolerance workplace harassment policy. Any employee experiencing harassment is urged to report this to the Acting Vice-Director of Human Resources—that’s me (no one else wanted to do it). I made myself vice instead of full acting director so as not to seem intimidating to employees wishing to report abuse. After a report of this kind, an investigation will occur. The employee(s) in question will be spoken to. And if appropriate, disciplined up to actual termination (!). The anonymity of the complainant will be strictly maintained.

Pied Piper will, of course, have zero tolerance for harassment based on gender, race, sexuality, religion or lack thereof, class, trans status or ableness. Pied Piper will also of course not merely prohibit harassment that is direct and public but also less direct harassment that creates a hostile workplace. But furthermore, Pied Piper will join the cutting edge of the harassment-detection industry in forbidding microaggressions, nanoaggresions, picoaggressions, yoctoaggressions and all such oppression “particles,” if you will, down to the quantum level.

Pied Piper additionally forbids man-splaining, white-splaining, straight-splaining, cis-splaining, able-splaining, splain-splaining, splain-plaining, splain-shaming and, in general, saying things people doesn’t like. Discussion or possession of the Kurt Vonnegut short story “Harrison Bergeron” will be grounds for immediate termination.

Next Tuesday, I will lead a harassment workshop, “Understanding  Why What You’re Saying Is Terrible.” There will be cupcakes.






11/05/15

Silicon Valley (TV Series) 1/1

Saya sepertinya telat untuk membahas serial TV ini. Silicon Valley saat ini tengah memasuki musim keduanya sejak tayang pertama kali setahun lalu. Film yang diproduksi HBO ini cukup mampu membuat saya tertawa dan tidak bisa menahan untuk berbagi cerita dengan kamu. Buat kamu yang sudah nonton, please, jangan kasih tahu spoiler-nya. Biar saya saja yang membocorkannya.

Minimum Viable Product
Adalah Richard Hendricks (Thomas Middleditch) pemuda yang mirip Jesse Eissenberg atau dalam artian lain Mark Zuckerberg, pria pemalu mantan karyawan Hooli yang sedang mengembangkan sebuah aplikasi musik bernama ‘Pied Piper’ di sebuah inkubator bersama beberapa rekan lainnya (Big Head, Dinesh, dan Gilfoyle) yang juga sedang mengerjakan proyek masing-masing.  Mereka bekerja di bawah pengawasan sang pemilik inkubator, Erlich (T.J. Miller) yang menjengkelkan dan selalu merepresentasikan dirinya sebagai Steve Jobs.
“Kalau kau ingin tinggal di sini, kau menghasilkan,” kata Erlich kepada Richard. Dia memakai kaus hijau bertuliskan I Know H.T.M.L (How to Meet Ladies).  Lebih lanjut di berkata bahwa Pied Piper milik Richard tidak punya prospek dan membingungkan pengguna. Richard seharusnya mencontoh program yang dibuat Big Head dengan ‘NipAlert’ (aplikasi yang menunjukkan lokasi puting mengeras).
Ketika Richard dan Big Head (Josh Brener) kembali ke Hooli, sebuah perusahaan teknologi raksasa di Silicon Valley milih Gavin Belson (Matt Ross), mereka bertemu dua orang Brogrammers (programer Hooli) yang kemudian mengolok-olok Pied Pipers sebagai Pied Wiper dan Wide Diaper. Lalu pada malam harinya mereka berkesempatan menemui Peter Gregory, pemilik perusahaan IT raksasa lainnya, dan menyampaikan tentang Pied Piper. Tapi tampaknya Peter tidak tertarik dengan aplikasi tersebut.
Namun siapa sangka, dua Brogrammers Hooli tadi ternyata kagum cara Richard mengkompres file musik lebih kecil tanpa mengurangi kualitas, tentang kecepatan pencarian dan kecocokannya dengan musik lainnya. Jared Dunn (Zach Woods), karyawan Hooli lainnya, yang juga ikut menyaksikan kehebatan Pied Piper memberi tahu Gavin tentang potensi aplikasi tersebut. Ketika Gavin menawarkan Richard sejumlah uang, Erlich datang dan mengatakan dia berhak mendapatkan 10% karena Richard bekerja di tempatnya. Tawar menawar semakin menarik saat Peter Gregory menelpon Richard dan menawarkan US$ 200 ribu untuk mendanai proyeknya dengan kepemilikan 95% masih dipegang Richard. Tentu saja dua tawaran yang menggiurkan membuat Richard bingung. Di sisi lain Gavin sudah sampai pada nilai US$ 10 juta namun mengambil alih semua kepemilikannya.
Pada akhirnya, setelah konsultasi dengan dokter dan bujukan Monica (stafnya Gregory), Richard memilih bergabung dengan Gregory. Dia memilih untuk membesarkan sendiri perusahaannya dan memulai petualangan bisnisnya bersama ketiga rekannya.
"Look, guys, for thousands of years, guys like us gave gotten the shit kicked out of us. But now, for the first time, we're living in an era, where we can be in charge and build empires. We could be the vikings of our day." (Dengar, Kawan, selama ribuan tahu, orang seperti kita selalu ditendang. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya kita hidup di era, di mana kita bisa berkuasa dan membangun kerajaan. Kita bisa jadi viking di zaman kita). -- Richard --


10/05/15

Maggie: Dramatisasi Zombie



Maggie merupakan film debutan dari sang sutradara, Henry Hobson, yang lebih dikenal dengan pekerjaannya sebagai designer. Tidak seperti kebanyakan film zombie yang banyak letusan tembakan, teror-teror mayat berjalan, maupun ledakan di kepala, Maggie menawarkan sesuatu yang berbeda. Barangkali dari latar belakang Hobson-lah yang membuat film ini dipenuhi gambar dan adegan dramatis. Dari sosok Arnold Schwarzenegger, meskipun masih terlihat garang, lebih menonjolkan kemuraman dan kecemasan seorang ayah baik. Seting pertanian dan kota yang sepi dengan latar gelap menjadi objek yang pas buat Hobson untuk berkreasi.
Film ini tidak menawarkan sesuatu yang mengejutkan, masih seputar wabah penyakit dan bencana dunia. Di awal kisah kita akan bertemu Wade (Schwarzenegger) yang berusaha mencari putrinya, Maggie (Abigail Breslin), yang kabur dari rumah setelah digigit pengidap. Banyak orang berubah menjadi kanibal karena virus necro-ambulists ini. Sekali terinfeksi, korban punya waktu sekitar 6-8 minggu untuk berubah jadi mayat berjalan.
Wade menemukan Maggie di rumah sakit dan membawanya pulang. Karena kecintaan pada istri pertamanya yang sudah meninggal, dia bertekad merawat Maggie di rumahnya. Jadi, dia mengirim dua anak lainnya dari istri keduanya, Bobby dan Molly, ke rumah bibi mereka. Tapi menjaga Maggie ternyata tidak mudah bagi Caroline (Joely Richardson), istri kedua Wade, yang penuh kecemasan kalau-kalau Maggie akan berubah sehingga dia pun memutuskan untuk meninggalkan mereka.
Dalam rentang waktu menunggu perubahan itu, tubuh Maggie mengalami perubahan; garis urat menjadi hitam, mata memutih dan muncul belatung di luka bekas gigitan. Polisi yang bersimpati pada Wade pun memaksa Wade untuk menyerahkan Maggie supaya bisa dibawa ke karantina. Tapi Wade tetap pada pendiriannya untuk menjaga Maggie.
Hingga pada suatu hari Maggie kehilangan kontrol atas dirinya, alih-alih menyelamatkan rubah yang terperangkap dia malah memakannya. Dan ketika menyedari puncak dari perubahannya telah tiba, Maggie mengambil tindakan yang terbaik untuk dirinya dan sang ayah.