29/12/15

Inilah Daftar Film Terbajak 2015



Interstellar menjadi film yang paling sering dibajak sepanjang tahun ini berdasarkan data Excipio melalui penelusuran download-an dengan BitTorrent. Film yang dibintangi Matthew McConaughey ini sudah didownload secara ilegal sebanyak 46.7 juga mulai awal tahun hingga 25 Desember 2015. Jumlah ini lebih tinggi 56%  dari pemuncak tahun 2014, The Wolf of Wall Street. Peningkatan ini juga diikuti peringkat kedua Furious 7 (44.7 juta download) dan ketiga yang ditempati Avengers: Age of Ultron (41.5 juta download). Sebagai perbandingan, peringkat tahun 2014 Frozen  (29.9 juta download) dan peringkat ketiga RoboCop (29.8 juta download).
Sayangnya, Excipio tidak menjelaskan jumlahnya berdasarkan geografi.
Berikut daftar lengkapnya:
46,762,310 (download): Interstellar (2014)
44,794,877: Furious 7 (2015)
41,594,159: Avengers: Age of Ultron (2015)
36,881,763: Jurassic World (2015)
36,443,244: Mad Max: Fury Road (2015)
33,953,737: American Sniper (2014)
32,126,827: Fifty Shades of Grey (2015)
31,574,872: The Hobbit: Battle Of The Five Armys (2014)
31,001,480: Terminator: Genisys (2015)
30,922,987: Kingsman: The Secret Service (2014)

01/12/15

Rogue Nation v Spectre: Head to Head


Spectre meleset dari harapan penonton, Sam Mendes tidak mampu mempertahankan debut bagusnya di‘Skyfall’.
Sayangnya, tema cerita mirip dengan Mission Impossible: Rogue Nation (MI 5). Keduanya bicara tentang pembekuan misi yang kemudian digantikan atau bergabungnya agensi dan melibatkan agensi lain, serta munculnya organisasi jahat: Sydicate (MI) dan Spectre (JB).
Well, karena keduanya tayang di tahun yang sama dan dengan tema yang mirip, saya pikir tidak ada salahnya membandingkannya head to head.


Ethan Hunt v James Bond
Dua-duanya superior, tapi saya lebih dalam menarik nafas ketika Ethan (Tom Cruise) kehabisan oksigen dan hampir tenggelam. Sementara James Bond (Daniel Craig) lebih sering diselamatkan oleh alat yang sudah ‘disediakan’.

Alan Hunley v M
Alec Baldwin berperan sebagai Alan Hunley, pengganti Kepala IMF yang tertembak dalam Ghost Protocol. Tapi sebelum menjabat Kepala IMF dia merupakan agen CIA yang bersikeras menutup IMF karena kegiatannya yang dianggap menyimpang. Hal yang hampir sama terjadi pada MI6, agensi Inggris tempat James Bond bernaung, yang akan ditutup dan digantikan dengan organisasi yang lebih efisien. M (Ralph Fiennes), sebagai kepala MI6 berjuang agar MI6 tetap ada.
Di sini peran Alan lebih besar ketimbang M yang menunjukkan keseriusannya memburu Ethan Hunt. Sebaliknya, M tampak tidak tampil ngotot mempertahankan MI6, atau dalam kasus lain dia hanya mengejar Bond sekedarnya.

Lane v Blofeld
Lane dan Blofeld merupakan musuh nomor satu. Tapi ada perbedaan besar dari keduanya. Jika Lane (Sean Harris) dengan suara seraknya tampil dingin dan kejam, sebaliknya Blofeld (Christopher Waltz) malah mlempem dan sendu, bertolak belakang dengan peran yang pernah dimainkan Waltz di film-film sebelumnya. Apalagi dengan akhir film yang juga hampir mirip (Lane dan Blofeld tidak mati) kesenjangan itu semakin terlihat. MI 5 ditutup dengan sangat bagus: Lane dikurung dalam kotak kaca anti peluru. Sementara dalam Spectre, helikopter yang ditumpangi Blofeld dengan mudah dilumpuhkan Bond. Helikopter jatuh dan Blofeld selamat. Bond menodongkan senjatanya pada Blofeld tapi urung menembaknya. Sangat biasa.

Ilsa Faust v Madeleine
Mungkin inilah salah satu yang menarik: Léa Seydoux yang memerankan Madeline Swann dalam Spectre pernah bermain dalam Ghost Protocol sebagai Sabine Moreau, seorang tokoh jahat. Saya merasa kesan penjahatnya masih ada ketika dia bermain dalam Spectre yang notabene dia memerankan tokoh protagonis. Sementara, Ilsa Faust (Rebecca Ferguson) tampaknya lebih disukai penonton dengan penampilannya yang segar. Di samping itu kehadiran Ilsa cukup menarik karena memancing penonton untuk bertanya-tanya ‘apakah dia sedang menjebak Ethan Hunt atau membantunya?’

Christopher Mcquarrie v Sam Mendes
Sam tentunya lebih unggul pengalaman sebagai sutradara ketimbang Christopher Mcquarrie, apalagi dengan berbagai penghargaannya yang pernah disabetnya. Tapi kelemahan di cerita membuat Spectre biasa saja. Sebaliknya, Christopher Mcquarrie punya keuntungan sebagai penulis cerita, skenario dan sutradara MI 5 serta kedekatannya dengan Tom Cruise. Kehandalannya menulis sudah terbukti dengan raihan Oscar (The Usual Suspects) dan beberapa film dengan twist menarik, dan dia menerapkannya dengan baik di Rogue Nation.
Meski begitu, pada akhirnya ada satu hal penting yang membuat Spectre jauh mengungguli MI 5 yaitu pendapatan. 
Spectre : $850,149,955
MI 5: $682,330,139

22/11/15

2016: Dari DC ke Marvel, Dari Marvel ke DC


Saya tidak menyebut perpindahan aktor DC ke Marvel atau dari Marvel ke DC menambah panasnya persaingan kedua rumah superhero tersebut, setidaknya bagi saya yang tidak pernah membandingkan keduanya mengingat saya punya tokoh superhero favorit baik di DC maupun di Marvel. Bahkan, saya senang ketika sang aktor/aktris mendapatkan peran yang lebih baik di rumah barunya.
Tahun 2016 akan menambah semarak perpindahan tersebut. Ben Affleck, yang kita tahu pernah berperan sebagai Daredevil, menjadi suksesor Christian Bale sebagai Batman. Saya pikir hampir semua orang setuju Ben Affleck, dengan wajah ‘wise’, cocok memerankan Bruce Wayne. Sementara, Ryan Reynolds, mantan Green Lantern di DC, menjajaki peran barunya sebagai Deadpool, yang disebut-sebut Superhero yang berbeda.
Akan tetapi, apa yang membuat para aktor/aktris jadi lebih baik adalah sang sutradara. Para sutradara berperan penting dalam mengangkat pamor superhero menjadi berkesan atau malah menjatuhkan. Kita melihat keberhasilan Triologi Batman ala Christopher Nolan yang berhasil mengangkat Batman setelah tenggelam di tangan Joel Shumacher. Sementara Zack Snyder, sebagai suksesor Nolan, sudah membuktikan bisa mengangkat Superman jauh lebih baik dari kreasi Bryan Singer. Bryan Singer memang tidak bisa dibilang gagal dengan Superman Returns-nya, namun dia tampaknya memang berjodoh dengan X-Men.

26/09/15

[Sinopsis] The Intern



Kalau kamu suka dunia internet start-up atau kamu yang suka belanja online dan mau tahu dapur pelayanan online tersebut maka film ini cocok buat kamu.

Anne Hathaway naik kelas; setelah sebelumnya berperan sebagai pegawai baru yang harus menghadapi bos-nya yang merepotkan dalam Devil Wears Prada, dia kembali ke dunia fashion namun berperan sebagai bos dan sekaligus pendiri CEO aboutTheFit.com, sebuah layanan fashion online yang tengah naik daun. Jules Ostin, demikian nama peran yang dimainkan Hathaway, sangat memerhatikan detail pekerjaannya, berkeliling kantor dengan sepeda, disibukkan dengan telpon, meeting, memilih desain grafis yang tepat, mengajari karyawannya melipat dan membungkus pakaian, hingga mengecek pengiriman barang di gudang. Karena kesibukannya ini dia lupa pernah membuat lowongan pekerjaan untuk para senior (pensiunan) untuk magang di perusahaannya.

Ben (Robert de Niro) seorang pensiunan eksekutif yang hidup sendiri setelah ditinggal mati istrinya 3.5 tahun lalu. Dia selalu mengisi harinya yang sepi dengan berpergian keliling dunia, meskipun menurutnya, kemana pun dia pergi akhirnya dia akan kembali lagi ke rumah. Tapi dia harus terus bergerak untuk merasa hidup dan menjadi bagian dari dunia; dia selalu bangun pagi lalu pergi ke starbucks, dan melakukan aktivatas lain seperti yoga, belajar memasak, belajar bahasa mandarin, golf, ke pemakaman temannya, atau kau sebut saja karena dia pernah melakukan semuanya. Tapi jangan sebut dia bahagia dengan segala kegiatannya karena dia merasa ada satu lubang dalam hidupnya yang perlu diisi. Hingga pada suatu hari dia menemukan selebaran berisi lowongan pekerjaan di AboutTheFit.com. Ben merasa lowongan itu adalah sebuah tantangan baru, apalagi lamaran harus dimasukkan dalam format video ke youtube atau vimeo yang membuatnya harus belajar lagi.

Ben, bersama tiga pemagang lainnya berhasil diterima sebagai pemagang senior. Tapi dunia kerja yang satu ini jauh berbeda dengan dunia kerjanya dulu. Ben mengawali dengan melewati dua  wawancara, mendengar pertanyaan yang tidak lazim dari si pewawancara muda seperti di bawah ini:

“Ok Ben seperti apa dirimu sepuluh tahun yang akan datang?”

“Saat aku berusia 80 tahun?”

“O, aku tidak sadar kau sudah berusia 70 tahun.”

Setelah itu tidak ada pertanyaan lagi dan si pewawancara tampaknya terkesan dengan penampilan dan video Ben. Ben pun diterima bekerja.

Dunia kerja barunya ini sungguh sangat berbeda dengan jamannya saat bekerja; cara berpakaian karyawan yang santai, bekerja dengan laptop, komputer desktop, iPad dan smartphone. Namun, Ben tampil percaya diri dengan menjadi diri sendiri; dia memakai jas dan dasi, membawa tas koper kulit klasik, kalkulator, pena, dan handphone jadul. Dia mendapat email pertamanya tentang posisinya, yaitu berada di bawah pengawasan langsung sang pendiri, Jules Ostin.

Awal-awal bekerja dengan Jules tidak begitu baik, bahkan Jules menganggap tidak akan banyak pekerjaan yang akan dilakukan Ben. Jules pun menawarkan pindah bagian jika dia mau. Tapi Ben menjawabnya dengan santai bahwa dia datang untuk mempelajari dunia barunya dan tidak berniat untuk pindah bagian.

Barangkali apa yang dialami Ben pernah dialami kita saat mulai kerja di perusahaan baru; tidak ada yang kita kerjakan di tengah rekan-rekan baru kita yang sibuk. Seperti itulah yang Ben alami, menunggu email dari Jules untuk bekerja. Dia mengisi waktunya dengan membaca koran atau membantu karyawan lain, terkadang dia bertanya pada teman kerjanya tentang pekerjaannya. Tapi Ben seorang yang komitmen dan sabar. Meskipun tidak ada kerjaan, dia pulang lebih lama dari karyawan lainnya karena dia berprinsip baru akan pulang jika bosnya sudah pulang. Hal ini berlangsung berhari-hari hingga akhirnya Ben mendapat pekerjaan pertamanya: membersihkan jaketnya Jules.

Beruntung Ben orangnya luwes dan pandai bergaul; Ben menjadi tempat yang baik untuk bicara dan curhat. Dan sambil menunggu pekerjaan datang, Ben berinisiatif datang lebih pagi dan membereskan meja yang biasanya berantakan. Tentu saja pekerjaannya mendapatkan perhatian dari Jules dan aplaus dari karyawan lainnya.



Inisiatif lagi-lagi menjadi kata penting saat kita memulai sebuah karir di perusahaan. Ben yang melihat supir Jules sakit berinisiatif menggantikannya. Ben memang menjadi supir yang sangat baik dan selalu memerhatikan kebutuhannya, tapi hal itu malah membuat Jules agak risih dan berniat memindahkan Ben ke bagian lain. Tapi Jules salah. Ben merupakan orang menyenangkan dan tempat yang baik untuk berbagi.

Sejak menjadi supir, Ben menjadi dekat dengan suami dan anak Jules. Namun ternyata, di balik kesuksesannya Jules punya masalah rumah tangganya sendiri yang disembunyikannya. Matt, suami Jules, tidak merasa nyaman dengan tugasnya sebagai bapak rumah tangga meski tidak ditunjukkan di depan Jules. Diam-diam dia selingkuh dengan ibu dari teman anaknya. Baik, Ben dan Jules tahu itu, tapi Jules mencoba mempertahankan rumah tangganya. Ben mencoba bicara kepada Matt tentang dedikasi dan kerja kerja keras Jules untuk perusahaan dan keluarganya tanpa menyinggung masalah perselingkuhan, dan Jules berhak mendapat yang terbaik. Tapi di lain waktu, Jules malah yang curhat kepada Ben tentang perselingkuhan suaminya. Ben tidak memberikan nasehat padanya, tapi pada akhirnya Matt dan Jules-lah yang menyelesaikan masalah mereka sendiri.


23/09/15

Who Am I - No System is Safe: Kisah Hacker Rasa Usual Suspects



Membaca judulnya di atas kamu bisa menebak gimana akhir cerita Who am I. Yaaa, kamu benar, agak-agak miriplah dengan The Usual Suspects tapi dengan special menu Fight Club.
Nah lho, maksudnya apa nih? Wah jadi nggak seru kalau tahu bocorannya.
Hahaha, perlu kamu tahu saya bukan tipe orang yang seneng kasih tau spoiler. Saya hanya orang yang suka bilang, Just watch the movieBro. Setidaknya film ini bisa nutupin rasa kecewa kamu yang udah nonton Black Hat.

The Story
Benjamin alias Who am I bukan siapa-siapa di dunia nyata, tidak dianggap dan harus menjaga neneknya setelah ibunya mati bunuh diri. Benjamin ingin menjadi seorang superhero, dan layaknya para superhero, latar belakang dia sebenarnya cukup memenuhi syarat: tidak punya orang tua, tidak dianggap dan punya seragam (seragam baju ayam tukang piza). Ya, dia mungkin bukan siapa-siapa di dunia nyata, tapi dia seorang yang aktif di dunia maya. Dia punya keahlian program dan hacking, dan ikut bergabung dalam Darknet dengan nama Who am I bersama para hacker dunia. Tapi diantara mereka, hanya ada satu nama yang membuatnya kagum dan sekaligus menjadi idolanya, Marx.
Ketika ditangkap karena meretas server kampus dan mencuri data ujian untuk Marie, dia berkenalan dengan Max dalam kegiatan kerja sosial. Max mengajaknya bergabung dan mereka membentuk Clay (Clown Laugh at You) bersama dua Stephan dan Paul. Mereka meretas berbagai sistim keamanan perusahaan dan nama Clay jadi terkenal. Meski demikian, dari sekian banyak hasil pekerjaan mereka, tidak ada yang membuat Marx terkesan. Marx dan hacker-hacker lainnya hanya menganggap Clay kelompok kecil.
Suatu hari Clay berhasil membobol Dinas Rahasia Jerman (BND), tapi apa yang dilakukan mereka tidak terlalu penting seperti membuat kacau mesin foto kopi. Kecuali Benjamin, yang membobol server mereka punya cerita lain: dia sukses mendapat data nama-nama para hacker yang bekerja sama dengan BND. Lalu tanpa sepengetahuan ketiga temannya dia mengirim data tersebut kepada Marx.
Aksi Benjamin ketahuan tiga rekannya ketika dikabarkan seorang hacker tewas dibunuh kelompok hacker dari Rusia bernama FR13NDS. Dia adalah Krypton salah satu hacker yang bekerjasama dengan BND. Dari sini mereka tahu bahwa Marx adalah bagian dari FR13NDS. Karena takut dengan ancaman dari hacker lain, mereka menawarkan kerja sama dengan Marx supaya bisa bergabung dengan FR13NDS. Mereka berharap dengan cara ini akan mengungkap siapa sebenarnya Marx dan membuktikan bahwa Marx-lah yang berada di balik pembunuhan Krypton. Marx menerima dan memberi mereka tugas untuk memasukkan trojan ke sistem Europol.
Benjamin & Marx

Ternyata masuk ke dalam gedung Europol bukanlah pekerjaan mudah. Meski begitu, tanpa sepengetahuan ketiga temannya, Benjamin berhasil masuk kedalam gedung dan memasang transmiter di sana sehingga dia bisa dengan mudah mengkses sistemnya. Tapi celakanya Benjamin ketangkap BND, dan dari sinilah sebenarnya cerita ini dimulai. Dia diinterogasi dan menceritakan kisahnya seperti yang sudah saya ceritakan.
Kalau kamu suka The Usual Suspects pasti kamu suka film ini. Tapi tunggu dulu, meski kamu yakin bisa menduga siapa sebenarnya Marx, tampaknya sang penulis skenario sudah mengantisipasinya dengan memberikan kejutan lain. Penasaran, kan?

Who Am I
  


The Usual Suspects



20/08/15

Menakar Nasib Battle of Surabaya di Bioskop



Tepat hari ini tayang perdana Battle of Surabaya (BoS) di bioskop. Film ini berkisah tentang Film ini menceritakan petualangan Musa, remaja tukang semir sepatu yang menjadi kurir bagi perjuangan pejuang arek-arek Suroboyo dan TKR dalam peristiwa pertempuran dahsyat 10 November 1945 di Surabaya (wikipedia).

BoS memenangkan International Movie Film Trailer (IMFT) untuk kategori People's Choice Award pada tahun 2013 dan masuk dalam nominasi Golden Trailer Awards 2014.

Setelah melalui waktu produksi yang lumayan lama, dan ditayangkan dalam suasana peringatan 70 tahun Indonesia Merdeka, Bos diharapkan bisa memancing rasa nasionalisme dan sedikit pengetahuan tentang sejarah bangsa.

Namun, tampaknya harapan itu kurang bersambut ketika di sebagian bioskop tidak menayangkan BoS di teater utama, apalagi di bulan-bulan ini BoS akan bersaing dengan Inside Out, film besutan Pixar. Bahkan di Mega Bekasi XXI, BoS kalah dari Magic Hour yang tayang di teater 1 (salah satu yang terbesar di tanah air). Di CGVBlitz Bekasi Cyber Park, BoS tayang di auditorium 7. 


Jadwal BoS di Mega Bekasi XXI

Akan tetapi, terlepas dari itu, ada kekhawatiran lain dari film ini, dan mungkin bisa berpengaruh pada persepsi penonton, seperti gerakan dan dubbing yang tidak terlalu luwes, lalu ada adegan yang mirip dengan Sherlock Holmes 2, dan bahkan penampilan sang tokoh, Musa, mirip dengan tokoh Seita di Grave of the Firefiles.


Musa

Sherlock Holmes 2

Musa

Seita, Grave of the Fireflies

Well, meski mengangkat tema perjuangan bangsa, tampaknya film animasi kita masih belum bisa dilepaskan dari ciri animasi Jepang. Namun, saya tetap berharap film ini bisa mendapatkan apresiasi yang bagus di publik sendiri, apalagi mengingat penghargaan yang didapat di luar negeri masih berupa trailer.





15/08/15

The Lunchbox (2013)



Di sebuah daerah di India, ada kebiasaan dimana makan siang dikirim melalui sebuah perjalanan panjang; istri di rumah atau restoran mengirimnya lewat kurir sepeda, lalu diangkut dengan gerobak bersama kotak makan lain dan kemudian dilanjutkan dengan perjalanan kereta. Setelah tiba di stasiun tujuan, barisan kotak makan siang dipilah sebelum diangkut dengan gerobak dan didistribusikan kepada kurir sepeda untuk kemudian dikirim ke meja penerima.
Jangan bayangkan kendaraan yang digunakan sebagus di negara maju, di sana para kurir berjuang melewati hujan, terjebak macet dan berdesakan di dalam kereta. Kotak makan siang yang diantar juga tidak sedikit, bisa puluhan atau bahkan ratusan jika sudah bergabung dari tempat lain. Risiko tertukar pasti ada. Meski demikian, para kurir yakin kotak makan siang yang mereka kirim tidak akan tertukar karena Harvard sudah menguji sistem tersebut dan tidak mungkin ada kesalahan.
Akan tetapi, justru kesalahan itulah yang menjadi tema Lunch Box: ‘Bagaimana jika masakan seorang istri sampai ke meja orang yang salah?’
Kejadian tersebut menimpa Ila (Nimrat Kaur), yang seharusnya mengirim makan siang untuk sang suami malah terkirim ke meja kerja Saajan Fernandes (Irrfan Khan), seorang duda awal lima puluh tahun yang kesepian.
Pada awalnya Ila tidak menyadari kesalahan itu; tidak seperti biasanya dia mendapati kotak makan siangnya kembali dalam keadaan kosong. Pikirnya, itu karena resep barunya sehingga membuat sang suami mau menghabiskan makan siangnya. Tapi dia merasa ada sesuatu yang janggal ketika menanyakan masakannya pada sang suami. Meski sang suami menjawab masakan enak, sang suami menyebut menu yang berbeda dari yang dimasak. Dari situ kecurigaan Ila mulai muncul jangan-jangan suaminya makan dari kotak makan siang yang berbeda.
Fernandes, yang menerima kotak makan siang milik Ila, terkejut dengan perubahan pada menu makan siangnya yang jauh lebih enak dari biasa. Akibatnya, dia malah memuji masakan restoran tempat dia biasa pesan makan siang.
Salah kirim itu berlanjut keesokan harinya, tapi selain mendapat makan siang yang lezat, kali ini Fernandes mendapatkan sebuah surat di dalamnya.
Ila mengatakan bahwa makanan itu ditujukan untuk suaminya, dan tidak lupa berterima kasih karena sudah menghabiskan makanannya. Fernandes membalas menulis surat kepada Ila tanpa ucapan terima kasih dan mengkritik masakannya hari itu yang sedikit asin.
Meski Ila tidak menganggap Fernandes sebagai orang yang tidak tahu berterima kasih, tapi atas anjuran bibinya, dia mengirim makan siang sangat pedas untuk Fernandes. Fernandes yang tidak berprasangka buruk mengatakan dalam surat berikutnya bahwa dia membeli dua pisang untuk menghilangkan rasa pedasnya.
Surat-menyurat lewat kotak makan siang pun berlanjut. Mereka saling terbuka menceritakan keadaan dan latar belakang masing-masing, hingga pada suatu hari Fernandes mengajaknya untuk bertemu.
Ila merasa senang dengan tawaran Fernandes. Mungkin saja pertemuan itu bisa menjadi warna dalam rumah tangganya yang berlangsung garing apalagi ditambah dengan kecurigaannya pada sang suami yang selingkuh.
Ila datang di hari dan tempat yang di janjikan, tapi setelah sekian lama menunggu tidak ada kabar dari Fernandes. Merasa kesal dan dipermainkan, dia mengirimi Fernandes kotak makan siang kosong, seolah menginginkan penjelasan laki-laki itu.
Dalam surat balasannya, Fernandes menjelaskan dia sudah datang ke tempat itu dan melihat Ila. Ila terlihat muda, cantik dan punya impian. Fernandes menyadari dirinya sudah tua, setua kakeknya ketika pergi ke kamar mandi dan melihat wajahnya di cermin.

07/08/15

Silicon Valley 1 - 3 (Articles of Incorporation)



“Hingga saat ini, kehebatan prestasi manusia selalu diukur dengan ukuran: lebih besar, lebih hebat …,” demikian Galvin Belson berkata dalam sebuah video di situs TechCrunch. Foto-foto Taj Mahal, Koloseum, Piramida, dan Sphinx di layar belakang mewakili kata ukuran dan besar. Lalu,  Galvin menyebut nama nano teknologi, mobil pintar, dan sebuah proyek baru Hooli bernama Nukleus, sebuah software kompresi paling canggih di dunia, pesaing Pied Piper.
Richard tidak terlalu khawatir karena kompresi yang ditunjukkannya di Hooli beberapa waktu lalu hanya untuk audio dengan kualitas yang tidak lebih baik, sedangkan Pied Piper mampu mengkompresi bentuk video. Lagipula Richard sudah tidak sabar untuk menunjukkan logo yang tercetak di kaos hijau Pied Piper: seseorang bertopi bulu sedang meniup seruling. Tapi, rekan-rekannya tampak tidak suka dengan logonya. “Seperti pria sedang menghisap p***s,” kata Dinesh. Dan masalah muncul ketika Jared datang dan mengatakan bahwa cek yang diberikan Peter Gregory terdaftar atas nama Pied Piper Incorporated, lalu mengusulkan supaya Richard mengubah namanya.
Tapi Richard tetap bersikeras mempertahankan nama Pied Piper, meski Jared kemudian menjelaskan bahwa nama itu berasal dari dongeng pemain suling pembunuh dan pemangsa anak-anak di dalam gua. Erlich yang baru datang setelah mendengar obrolan mereka juga setuju mengganti nama Pied Piper karena dia malu dengan nama itu. “Richard, lihatlah Aviato,” kata Erlich. “Bukan aku yang  menemukan nama itu, tapi nama itu yang menemukanku pada sebuah pencarian visi. Itulah yang harus kaulakukan.” Richard tahu apa yang dimaksud dengan pencarian visi adalah mengkonsumsi obat-obatan lalu duduk di tengah gurun dan berharap beberapa nama secara acak muncul di kepala.
“Nama mencerminkan perusahaan,” lanjut Erlich, “sesuatu yang penting, sesuatu yang bisa kauteriakkan saat bercinta. Seperti Aviato.”
“U .. U .. Uberrr,” kata Dinesh.
“Go .. Go .. Google,” kata Gilfoye.
Tapi Richard tidak bisa melakukannya saat menyebut “Pied Piper!”
Yep, itulah tema dari episode 3, tentang penamaan dan legalitas perusahaan, sebuah pelajaran penting buat kamu yang ingin memulai bisnis rintisan (start-up).
* * *
Ternyata masalah tidak hanya sampai di situ, Pied Piper sudah terdaftar atas nama sebuah perusahaan pengairan irigasi. Meski diragukan kemampuan bernegosiasi, Richard bertemu Arnold Garnis, sang pemilik Pied Piper. Siapa sangka Arnold mulai menyukai Richard yang menurutnya mirip anaknya, penderita asperger yang suka gemetaran. Selain itu, Richard juga mengingatkannya pada awal mula dia memulai bisnisnya. Dan karena tidak tahu banyak soal dunia IT apalagi masalah kompresi, dia setuju menjual nama Pied Piper untuk seribu dolar.
Seharusnya semua akan berjalan lancar jika Erlich tidak menulis artikel dan menyebarkannya di TechCrucnh, Recode, dan PandoDaily tentang bualan aset miliaran dolar Pied Piper. Richard yang baru tiba di rumah mendapat telpon dari Arnold yang merasa telah dibohongi olehnya. Arnold mengira Richard seperti yang diberitakan di internet sebagai miliader teknolongi, sehingga dia mengubah kesepakatan dan minta US$ 250 untuk nama Pied Piper. Tapi bagaimana Richard bisa mendapatkan US$ 250 ribu sementara sebagian uangnya sudah dipakai untuk membeli mesin margarita dan kartu kreditnya baru saja ditolak?
Richard hampir putus asa. Keempat rekan lainnya kemudian berusaha mencarikan nama pengganti; Jared, Gilroy dan Dinesh menulis semua kemungkinan nama yang bisa dipakai di papan tulis, sementara Erlich minum obat-obatan lalu berkendara ke gurun pasir untuk mencari inspirasi.
Tapi Richard yang merasa sudah mencapai kesepakatan dengan Arnold, memberanikan diri menantang Arnold dan membalikkan keadaan dengan mempertanyakan apakah Arnold seorang pria jujur atau pembohong. Dinesh memuji keberanian Richard, tapi Richard malah menjadi cemas karena Arnold akan datang untuk memukul semua bakteri di wajahnya.
Mereka tahu kedatangan Arnold ketika pintu rumah diketuk dengan kasar lalu memilih bersembunyi dan membiarkan Jing Yang yang membukakan pintu. “Aku mencari Pied Piper,” kata Arnold pada Yang.
“Ini Pied Piper,” jawab Yang. Tapi Arnold tidak percaya. Yang dia tahu Pied Piper adalah perusahaan besar dengan gedung besar.
Tiba-tiba Richard menjatuhkan lampu dan muncul di hadapan Arnold. Dengan gugup dia berkata, “Aku Richard. Aku Richard. Aku Richard.” Jared yang berdiri di belakangnya ikut berkata, “Aku Donald. Donald. Jared. Aku Jared.” Lalu disusul Dinesh menyebut nama Gilfoye, “Gilfoye. Gilfoye. Gilfoye.” Jing Yang melihat rekannya memperkenalkan diri juga bersuara, “Jing Yang. Jin Yang. Jing Yang.” Dan mereka pun seolah sedang melakukan akapela dan membuat Arnold bingung.
Saat tahu bahwa Pied Piper bukan sebuah perusahaan senilai miliaran dolar, Arnold pun melunak dan kembali menceritakan bagaimana dia memulai bisnisnya di garasi. “Aku sedikit merindukan masa-masa itu,” kata Arnold, menawarkan menurunkan harga menjadi US 5000. Tapi Richard yang merasa sedikit berada di atas angin tetap di angka US 1000. Setelah terjadi tawar-menawar maka harga disetujui seperti kesepakatan awal, US$ 1000. Dan Richard pun mendapat nama Pied Piper.

Adegan lain yang kocak adalah saat Erlich duduk bersila di tengah gurun pasir, mencari inspirasi untuk nama pengganti Pied Piper, dimulai dengan: “Sysbit Digital Solutions”, lalu “Integrating Open Data Spaces”, “Techbit Data Solution Systems”. Kemudian muncul tumbuh-tumbuhan di belakangnya dan seiring dengan itu logo-logo internet explorer, windows, like facebook, yahoo, chrome, dsb.melayang di udara.
Sebenarnya selama setengah jam episode 3 ini dibumbui cerita lain yang tidak kalah satire, seperti kisah dua orang yang mengajukan dana ke Peter Gregory namun kesulitan mengikuti keinginan sang bos, serta status Gilfoye; orang Kanada yang secara ilegal tinggal di AS.

06/08/15

M:I - Ethan Hunt Time to Time




Mission Impossible sudah beraksi selama 19 tahun, peran sentral dari IMF pun masih mengandalkan Ethan Hunt (Tom Cruise). Tapi ada sesuatu yang tidak bisa disembunyikan di balik wajah tampan sang tokoh; sejak misi yang keempat, Tom Cruise terlihat tua.

Meski pernah memerankan tokoh seorang ayah pada film War of The Worlds (2005), dalam dua serial terakhir M:I, Tom mulai tampak seperti seorang kakek.

Mari kita lihat sosok Ethan Hunt sejak pertama kali muncul di tahun 1996.  

 
M:I - I (1996)

M:I - II (2000)

M:I - III (2006)

M:I - Ghost Protocol

M:I - Ghost Protocol
 
M:I - Rogue Nation

M:I - Rogue Nation


IMF Menantang James Bond



Awal saya tahu Christopher McQuarrie dari film The Usual Suspects yang berhasil mengantarkannya memperoleh Oscar untuk penulis naskah terbaik. Bersama Bryan Singer, mereka mengakhiri film dengan adegan sensional. Kini dia mengambil peran lebih dengan menjadi sutradara, dan Mission: Impossible 5 – Rogue Nation adalah film ketiganya.
Dalam seri Mission Impossible (M:I) sebelumnya, Brad Bird, sang sutradara, yang lebih dikenal sebagai orang di balik layar suksesnya film animasi (The Incredibles, Ratatouille) berhasil menjadikan Ghost Protocol sebagai M:I terbaik. Tugas McQuaire membuat Mission Impossible 5 lebih baik dari pendahulunya tentu tidak mudah. Tapi, siapa sangka M:I langsung melejit ke puncak box office dengan pendapatan sekitar US$ 56 juta.



Meski jarak tayangnya berjauhan, M:I 5 dan Spectre diputar pada tahun yang sama, dan bisa jadi ‘peraingan’ antara IMF dan James Bond dimulai di sini. Dan sebagaimana kita tahu, baik M:I 4 maupun Skyfall merupakan yang terbaik dari seri sebelumnya. Apalagi, jalan cerita M:I terbaru melibatkan agen rahasia antar negara; antara IMF dan MI6 (agen rahasia Inggris, tempat James Bond bernaung). Tapi, dengan Sam Mendes yang masih dipercaya sebagai nakhoda, tampaknya James Bond masih bisa mengungguli IMF.
Namun di sisi lain, bagi penggemar IMF maupun James Bond pastinya akan dihadapkan pada pilihan subjektif, tentang agen mana yang lebih disukai. MeskipunIMF merupakan sebuah tim, tetap saja sosok yang paling menonjol adalah Ethan Hunt, sehingga ini bisa jadi pertarungan siapa lebih cerdas, lebih tampan, lebih memesona, dan lebih terampil berkelahi. Tapi, setidaknya ada dua hal yang tidak dipunyai Ethan Hunt dalam hal ini, yaitu mobil canggih dan perempuan. Ya, sejak M:I 3, Ethan Hunt masih setia pada istrinya.

05/08/15

Mission: Impossible 5 - Rogue Nation Review



Ada benang merah cerita sejak pertama kali Mission Impossible (M:I) diluncurkan: semuanya berkisah tentang fitnah terhadap Ethan atau IMF (Impossible Mission Force). Dan itu semakin terasa dalam M:I 4 ketika Ghost Protocol diberlakukan dan Ethan Hunt kembali menjadi buruan. M:I 5 menawarkan cerita yang kurang lebih sama saat IMF menjadi pihak yang disalahkan, tapi sepertinya Tom Cruise sebagai produser menyadari dengan memberikan nafas segar kepada IMF di akhir cerita, sehingga kemungkinan kelanjutan di MI 6  tidak akan lagi berkisah di seputar IMF atau Ethan Hunt sebagai korban.

M:I 5 masih berkaitan dengan seri sebelumnya dimana IMF menjadi pihak tertuduh dalam pengeboman Kremlin. IMF dibekukan dan seluruh anggotanya bergabung dengan CIA, kecuali Ethan (Tom Cruise) dan Luther (Ving Rhames). Tentu aja kejadian ini menjadi dilema bagi Ethan yang sedang mengungkap Organisasi Bayangan (Shadow Organization) atau The Syndicate. The Syndicate terdiri dari mantan para agen rahasia dunia yang bertanggung jawab atas kasus-kasus kecelakaan besar di dunia termasuk kecelakaan pesawat di Jakarta yang menewaskan pejabat Sekretaris Bank Dunia. Dan merujuk pada judulnya, organisasi inilah yang dimaksud dengan Rogue Nation (Benji (Simon Pegg) menyebutnya sebagai Anti-IMF karena mereka mengetahui semua gerak-gerik IMF dan membunuh salah satu agennya). Ethan yang kesulitan mengetahui keberadaan Solomon Lane, pimpinan The Syndicate, sebenarnya sangat terbantu dengan hadirnya agen Inggris bernama Ilsa Faust (Rebecca Ferguson) yang sedang menyamar. Tapi rupanya agen tersebut memanfaatkan Ethan untuk mendapatkan flash disk berisi data lengkap tentang The Syndicate.
Mengikuti alur ceritanya seolah kita sedang memasang potongan-potongan teka-teki sederhana namun tidak mudah untuk ditebak. M:I 5 memiliki aksi ketegangan yang lebih bervariasi dan merata, alias tidak terpusat pada satu adegan seperti memanjat gedung Burj Khalifa dalam M:I 4. Lelucon khas Benji pun masih dipertahankan dan cukup berhasil membuat penonton tertawa. Namun sayangnya kali ini Brandt (Jeremy Renner) tidak banyak beraksi seperti dalam M:I 4. 
Dan pada akhirnya ada perbedaan paling mencolok dari keempat film M:I sebelumnya atau bahkan film-film agensi lainnya; di sini M:I 5 mengajarkan bahwa penyelesaian masalah tidak harus diakhiri dengan pertarungan satu lawan satu.



15/07/15

Big Eyes (2014)

Kalau melihat posternya, kita bakalan nyangka ini film kartun. Tapi, ini bukan. Ini film terbaru Tim Burton berdasarkan kisah nyata. Pemainnya juga bukan orang sembarangan. Salah satunya Christoph Waltz (Hans Landa, Inglourious Bastard) pemeran Walter Keane.
Big Eyes berkisah tentang kehidupan Margareth (Amy Adams), janda dengan satu anak dan seorang pelukis berbakat. Jane, putri Margareth, merupakan sumber inspirasi lukisannya, tentu saja dengan mata besar. Tapi sayangnya lukisannya kurang laku, dan demi menyambung hidup, dia harus bekerja.
Pada suatu hari, dia bertemu Walter ketika sama-sama sedang memamerkan lukisan mereka di festival mingguan. Keduanya saling jatuh cinta dan menikah. Dia pun menjadi Ny. Keane. Tapi, krisis keuangan membuat Walter berupaya menawarkan lukisan mereka kepada sebuah galeri dan menyewa dinding di sebuah kafe untuk pameran. Keberuntungan datang ketika Walter dan pemilik Kafe berkelahi dan diliput media. Lukisan Big Eyes mulai mendapat perhatian. Tapi, Walter-lah yang mendapat pengakuan sebagai pelukis Big Eyes, sedangkan Margareth hanya bisa pasrah dan merelakannya. Barangkali itu karena kesalahannya membiarkan nama Keane di atas lukisannya.
Big Eyes dan Walter Keane mendapat ketenaran dan kekayaan. Walter terus berbohong, dan berbohong demi menutupi kebohongan dan ketamakannya. Sementara, di sisi lain, Margareth berusaha menyembunyikan jati dirinya sebagai pelukis asli Big Eyes, bahkan dari sang putri.
Menonton Big Eyes yang penuh warna mengingatkan kita pada Grand Budapest Hotel karya Wes Anderson beberapa tahun lalu. Tampilan tahun 50 – 60’an-nya sungguh memikat. Meski bercerita tentang kegetiran hidup Margareth, Tim Burton mengemasnya dengan sederhana dan humor.


10/07/15

Silicon Valley 1 - 2 (A Cap Table)



Inilah episode dimana Richard menentukan arah bisnis Pied Piper setelah mendapat pendanaan dari Peter Gregory.
Kisah dimulai ketika mereka akan mengadakan pesta peluncuran, mereka kedatangan Jared dengan sampanyenya yang bermaksud untuk memberikan selamat. Jared terkesan kepada Richard yang dengan idealis menolak $10 juta dari Hooli hanya untuk membangun Pied Piper. Sebagaimana kita tahu Jared adalah seorang karyawan Hooli dan karena itulah Eirlich menolaknya ikut bergabung dengan pesta mereka.
Keesokannya Richard dan Eirlich datang ke kantor Peter Gregory untuk meminta pendanaan yang dijanjikan, yaitu sebesar $200 ribu untuk 5% kepemilikan. Tapi apa yang terjadi? Mereka gelagapan saat Peter menanyakan business plan mereka, tabel kapitalisasi, surat investasi, dsb. Mereka tidak menyangka akan demikian karena mereka pikir Peter akan begitu saja memberikan cek. Peter memberikan waktu 48 jam kepada mereka untuk kembali dengan business plan atau tidak ada perjanjian sama sekali. Bagi Richard 48 jam bukanlah waktu yang lama, dan satu-satunya nama yang ada dalam kepalanya untuk membuat rencana bisnis adalah Jared Dunn. Dan gayung pun bersambut: Jared setuju bergabung dengan Pied Piper.
Eirlich dan Richard menemui investor tanpa business plan

Di tempat lain, Gavin Belson sang CEO Hooli tampak kesal dengan keluarnya Jared dari perusahaan. Dia mencoba menenangkan diri dengan berkonsultasi kepada guru spiritualnya.
Di luar sikapnya yang kaku, Jared memang punya kompetensi dan potensi untuk mengembangkan bisnis Pied Piper, dan dia bahkan tahu karakter dari Peter Gregory. Bersama Richards dia mencoba menyeleksi tim yang sudah ada dan ingin tahu peran masing-masing dalam perusahaan.
Gilfoye menjadi yang pertama. Dia seorang arsitektur sistim jaringan dan keamanan, dan tidak ada yang bisa mengganggunya dari posisi itu. Selanjutnya, Dinesh sang programer, satu-satunya yang menguasai java di tempat itu dan program rumit lainnya. Lalu terakhir: Big Head, dia satu-satunya yang tidak punya peran penting dalam tim.
Big Head merupakan sahabat baik Richard dan ketiga teman lainnya, tapi Peter Gregory hanya ingin tim yang ramping. Lagipula apa yang bisa diberikan pemuda polos seperti Big Head. Dia tidak punya keahlian apa-apa kecuali hanya persahabatan. Bagi Richard, mengeluarkan Big Head memang sebuah keputusan yang berat dan dia sangat tidak tega. Tapi sebelum keputusan resmi dikeluarkan terkait nasib Big Head, Big Head sudah terlanjur mendengar diskusi Gilfoye, Dinesh dan Eirlich tentang dirinya. “ Big Head adalah pria tanpa tujuan,” kata Dinesh. Jadi, Big Head sudah tahu nasib dirinya dan Richard tidak perlu repot-repot bicara empat mata dengannya.
Sesi interview (kredit: startup-book.com)

Richard merasa bersalah, seharusnya dia bisa menyelamatkan Big Head. Tapi kini nasi sudah menjadi bubur; Big Head sudah meninggalkan rumah. Usaha temannya untuk tidak terlalu mengkhawatirkannya tidak berhasil. Richard malah semain cemas kalau hal yang buruk akan menimpa sahabat baiknya. Dia akan mencarinya, tapi sayangnya tidak ada yang tahu kemana Big Head pergi, kecuali aplikasi Nipple Alert yang tiba-tiba menyala. Nipple Alert merupakan aplikasi semacam GPS penanda ada perempuan dengan dada mengeras. Richard tahu, satu-satunya tempat yang Big Head tuju adalah rumah seorang penari yang pernah datang ke pesta peluncuran Pied Piper.
Ketika mereka bertemu, Big Head sadar bahwa dirinya memang tidak diperlukan sehingga dia meminta Richard untuk tidak menyuruhnya kembali. Richard akhirnya menerima keputusan yang diambil Big Head. Meski demikian, sebagai seorang pemimpin keputusan yang diambil selalu dipengaruhi oleh ketiga temannya dan itulah kelemahan dirinya yang tidak bisa tegas. Dan ketika kembali ke rumah dia mengutarakan keinginannya untuk meminta Big Head kembali. Tentu saja pernyataan ini membuat yang lainnya bingung. Richard bahkan harus segera memutuskan apakah Big Head akan dimasukkan kedalam rencana bisnis atau tidak. Begitu pun dengan Eirlich yang tidak ingin sahabatnya jadi plin-plan mengatakan padanya perlunya bertindak tegas. Richard sedikit pusing, tapi dia sepertinya beruntung ketika tiba-tiba pintu terbuka dan tampak Big Head di hadapan mereka sehingga dia bisa mengatakan langsung di depan Big Head layaknya seorang pemimpin sejati. Dia berkata: “Big Head tetap tinggal!”
Tapi apa yang dikatakan Big Head sungguh mengejutkan. Dia bilang Galvin Belson baru menawarkannya promosi dengan gaji $600 ribu/tahun dan sekaligus sebagai kompensasi karena Pied Piper sudah mengambil Jared darinya. Ya, Richard mungkin terkejut, tapi setidaknya dia tidak akan pernah merasa bersalah lagi.


16/05/15

Silicon Valley - The Pied Piper Website




Tampaknya Mike Judge, sang kreator serial TV Silicon Valley, ingin membuat Pied Piper terlihat nyata dengan membuat website-nya. Dengan tampilannya oke, dengan profil perusahaan, pendiri dan blog, website Pied Piper cukup meyakinkan meski tanpa aplikasi untuk didownload. Dari tanggal di url blog dan komentar pengunjung, sepertinya website ini baru di buat sekitar bulan April tahun ini dan dikelola oleh Jared Dunn, Kepala Pengembangan Bisnis Pied Piper. Dunn juga yang berperan aktif menulis blog yang berisi seputar aktifitas organisasi yang hampir semuanya diadaptasi dari serial tv. Meski begitu, ada artikel yang menurut saya keren, yaitu Workplace Harassement Policy (Kebijakan Anti-Pelecehan di Kantor). Sebagaimana kita tahu, para pegawai Pied Piper sering mengeluarkan kata-kata rasis, porno dan kotor, maka dengan lahirnya kebijakan ini saya rasa Jared Dunn sudah membuat terobosan baru dalam membentuk budaya perusahaan.


Our Workplace Harassment Policy

– by Jared Dunn

Time to get real here, people.

We’ve had a lot of fun on this blog. No one more than I. You have no idea how I look forward to settling down with the ol’ laptop, a nice pear cider and banging out a post for you good folks to read. But now, I want to start a dialogue about something of great importance, particularly here in the Valley where our track record has been decidedly mixed: I’m talking about Pied Piper’s workplace harassment policy.

Pied Piper has instituted a zero-tolerance workplace harassment policy. Any employee experiencing harassment is urged to report this to the Acting Vice-Director of Human Resources—that’s me (no one else wanted to do it). I made myself vice instead of full acting director so as not to seem intimidating to employees wishing to report abuse. After a report of this kind, an investigation will occur. The employee(s) in question will be spoken to. And if appropriate, disciplined up to actual termination (!). The anonymity of the complainant will be strictly maintained.

Pied Piper will, of course, have zero tolerance for harassment based on gender, race, sexuality, religion or lack thereof, class, trans status or ableness. Pied Piper will also of course not merely prohibit harassment that is direct and public but also less direct harassment that creates a hostile workplace. But furthermore, Pied Piper will join the cutting edge of the harassment-detection industry in forbidding microaggressions, nanoaggresions, picoaggressions, yoctoaggressions and all such oppression “particles,” if you will, down to the quantum level.

Pied Piper additionally forbids man-splaining, white-splaining, straight-splaining, cis-splaining, able-splaining, splain-splaining, splain-plaining, splain-shaming and, in general, saying things people doesn’t like. Discussion or possession of the Kurt Vonnegut short story “Harrison Bergeron” will be grounds for immediate termination.

Next Tuesday, I will lead a harassment workshop, “Understanding  Why What You’re Saying Is Terrible.” There will be cupcakes.






11/05/15

Silicon Valley (TV Series) 1/1

Saya sepertinya telat untuk membahas serial TV ini. Silicon Valley saat ini tengah memasuki musim keduanya sejak tayang pertama kali setahun lalu. Film yang diproduksi HBO ini cukup mampu membuat saya tertawa dan tidak bisa menahan untuk berbagi cerita dengan kamu. Buat kamu yang sudah nonton, please, jangan kasih tahu spoiler-nya. Biar saya saja yang membocorkannya.

Minimum Viable Product
Adalah Richard Hendricks (Thomas Middleditch) pemuda yang mirip Jesse Eissenberg atau dalam artian lain Mark Zuckerberg, pria pemalu mantan karyawan Hooli yang sedang mengembangkan sebuah aplikasi musik bernama ‘Pied Piper’ di sebuah inkubator bersama beberapa rekan lainnya (Big Head, Dinesh, dan Gilfoyle) yang juga sedang mengerjakan proyek masing-masing.  Mereka bekerja di bawah pengawasan sang pemilik inkubator, Erlich (T.J. Miller) yang menjengkelkan dan selalu merepresentasikan dirinya sebagai Steve Jobs.
“Kalau kau ingin tinggal di sini, kau menghasilkan,” kata Erlich kepada Richard. Dia memakai kaus hijau bertuliskan I Know H.T.M.L (How to Meet Ladies).  Lebih lanjut di berkata bahwa Pied Piper milik Richard tidak punya prospek dan membingungkan pengguna. Richard seharusnya mencontoh program yang dibuat Big Head dengan ‘NipAlert’ (aplikasi yang menunjukkan lokasi puting mengeras).
Ketika Richard dan Big Head (Josh Brener) kembali ke Hooli, sebuah perusahaan teknologi raksasa di Silicon Valley milih Gavin Belson (Matt Ross), mereka bertemu dua orang Brogrammers (programer Hooli) yang kemudian mengolok-olok Pied Pipers sebagai Pied Wiper dan Wide Diaper. Lalu pada malam harinya mereka berkesempatan menemui Peter Gregory, pemilik perusahaan IT raksasa lainnya, dan menyampaikan tentang Pied Piper. Tapi tampaknya Peter tidak tertarik dengan aplikasi tersebut.
Namun siapa sangka, dua Brogrammers Hooli tadi ternyata kagum cara Richard mengkompres file musik lebih kecil tanpa mengurangi kualitas, tentang kecepatan pencarian dan kecocokannya dengan musik lainnya. Jared Dunn (Zach Woods), karyawan Hooli lainnya, yang juga ikut menyaksikan kehebatan Pied Piper memberi tahu Gavin tentang potensi aplikasi tersebut. Ketika Gavin menawarkan Richard sejumlah uang, Erlich datang dan mengatakan dia berhak mendapatkan 10% karena Richard bekerja di tempatnya. Tawar menawar semakin menarik saat Peter Gregory menelpon Richard dan menawarkan US$ 200 ribu untuk mendanai proyeknya dengan kepemilikan 95% masih dipegang Richard. Tentu saja dua tawaran yang menggiurkan membuat Richard bingung. Di sisi lain Gavin sudah sampai pada nilai US$ 10 juta namun mengambil alih semua kepemilikannya.
Pada akhirnya, setelah konsultasi dengan dokter dan bujukan Monica (stafnya Gregory), Richard memilih bergabung dengan Gregory. Dia memilih untuk membesarkan sendiri perusahaannya dan memulai petualangan bisnisnya bersama ketiga rekannya.
"Look, guys, for thousands of years, guys like us gave gotten the shit kicked out of us. But now, for the first time, we're living in an era, where we can be in charge and build empires. We could be the vikings of our day." (Dengar, Kawan, selama ribuan tahu, orang seperti kita selalu ditendang. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya kita hidup di era, di mana kita bisa berkuasa dan membangun kerajaan. Kita bisa jadi viking di zaman kita). -- Richard --


10/05/15

Maggie: Dramatisasi Zombie



Maggie merupakan film debutan dari sang sutradara, Henry Hobson, yang lebih dikenal dengan pekerjaannya sebagai designer. Tidak seperti kebanyakan film zombie yang banyak letusan tembakan, teror-teror mayat berjalan, maupun ledakan di kepala, Maggie menawarkan sesuatu yang berbeda. Barangkali dari latar belakang Hobson-lah yang membuat film ini dipenuhi gambar dan adegan dramatis. Dari sosok Arnold Schwarzenegger, meskipun masih terlihat garang, lebih menonjolkan kemuraman dan kecemasan seorang ayah baik. Seting pertanian dan kota yang sepi dengan latar gelap menjadi objek yang pas buat Hobson untuk berkreasi.
Film ini tidak menawarkan sesuatu yang mengejutkan, masih seputar wabah penyakit dan bencana dunia. Di awal kisah kita akan bertemu Wade (Schwarzenegger) yang berusaha mencari putrinya, Maggie (Abigail Breslin), yang kabur dari rumah setelah digigit pengidap. Banyak orang berubah menjadi kanibal karena virus necro-ambulists ini. Sekali terinfeksi, korban punya waktu sekitar 6-8 minggu untuk berubah jadi mayat berjalan.
Wade menemukan Maggie di rumah sakit dan membawanya pulang. Karena kecintaan pada istri pertamanya yang sudah meninggal, dia bertekad merawat Maggie di rumahnya. Jadi, dia mengirim dua anak lainnya dari istri keduanya, Bobby dan Molly, ke rumah bibi mereka. Tapi menjaga Maggie ternyata tidak mudah bagi Caroline (Joely Richardson), istri kedua Wade, yang penuh kecemasan kalau-kalau Maggie akan berubah sehingga dia pun memutuskan untuk meninggalkan mereka.
Dalam rentang waktu menunggu perubahan itu, tubuh Maggie mengalami perubahan; garis urat menjadi hitam, mata memutih dan muncul belatung di luka bekas gigitan. Polisi yang bersimpati pada Wade pun memaksa Wade untuk menyerahkan Maggie supaya bisa dibawa ke karantina. Tapi Wade tetap pada pendiriannya untuk menjaga Maggie.
Hingga pada suatu hari Maggie kehilangan kontrol atas dirinya, alih-alih menyelamatkan rubah yang terperangkap dia malah memakannya. Dan ketika menyedari puncak dari perubahannya telah tiba, Maggie mengambil tindakan yang terbaik untuk dirinya dan sang ayah.